Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Thursday, October 27, 2011

Cerpenku yang dimuat di Solopos (1)


ENAM BULAN UNTUK KUSTINI


Rabu 29 Juli 2009, mata sayu Kustini memandang kosong pada kalender lipat di atas meja rias. Dilingkarinya angka dua puluh sembilan dengan spidol merah. Kebiasaan yang selalu dilakukan Kustini ketika menjelang Subuh.
            “Ya Alloh empat bulan lagi?” Kerlit-kerlit terdengar langkah menuju  kamar. Cepat-cepat Kustini memasukkan kalender lipat itu ke dalam laci. Sementara tangan Kustini langsung sibuk mengusap  kedua bola matanya yang basah dan memerah. Untuk kesekian kali Kustini sengaja menyembunyikan  kesedihannya dari Tarmin, suaminya.
            “Mak, Subuh!” Suara berat Tarmin terdengar lirih dari balik pintu kamar. Kustini beranjak dan segera mengambil air wudu.
            Tarmin tampak khusuk berzikir sembari menunggu isterinya. Dengan tubuh membungkuk dan kaki dilipat, Tarmin terlihat komat-kamit mengucap tasbih, tahmid, dan takbir. Tak lupa bacaan tahlil dilafalkan pelan berulang-ulang.

            “Sreek….” Suara gorden di kamar tengah ditarik Kustini. Tarmin berdiri dan  mengumandangkan iqomah. Sebelum sholat subuh dimulai Tarmin menoleh ke belakang, menyempatkan beberapa detik memberikan senyuman hangat pada isterinya terkasih.
            Mereka tenggelam dalam khusuknya sholat. Dua rakaat salat wajib ditutup dengan salam. Setelah beberapa menit menguntai doa, Tarmin menjulurkan tangan kokohnya ke arah Kustini. Kustini meraih tangan suaminya disambut dengan dua kali kecupan lembut menyejukkan hati.
            “Preng…preng…preng…” Suara cemprang memecah pagi ketika Tarmin memanasi motornya. Sementara Kustini menyiapkan secangkir kopi pekat dan sepiring penuh singkong goreng yang masih panas mengepulkan asap, serta aroma harum dan gurih. Sebagai seorang isteri Kustini tahu betul apa yang selalu diinginkan suaminya.
            “Mak jangan lupa obatnya.” Sepenggal kalimat yang selalu diucapkan Tarmin sebelum berangkat kerja. Anggukan kepala Kustini mengisyaratkan jawaban.
            Tubuh tegap Tarmin kian lenyap dari pandangan. Lenyap seiring suara kemletek kuda besinya  yang semakin melemah berlalu pergi.
            Kustini meraih sapu ijuk di pojok pintu. Sambil mengibas-ngibaskan sapu ke lantai pikiran Kustini tiba-tiba menerawang. “Ya Allah empat bulan lagi?” Kata-kata itu selalu terucap lirih dari bibir Kustini yang tipis kebiru-biruan.
            Kustini menerawang lebih jauh lagi. Bayangan dosa-dosa masa lalu seperti diputar jelas di depan mata, bahkan lebih detail lagi. Adegan demi adegan ditampilkan rapi dan berurutan.
            Sesosok laki-laki berjas putih muncul dalam adegan pertama. Wajah bersih dan berlesung pipi itu mulai memainkan perannya. “Leukimia.” Sebentuk kata muncul, kemudian lenyap begitu saja.
            “Leukimia.” Sepatah kata itu muncul lagi, kata yang tidak pernah ingin didengar lagi oleh Kustini, sejak dua bulan yang lalu. Kata-kata itu seperti bara besi yang ditancapkan ke telinga, panas dan sangat menyakitkan.
            Leukimia adalah hakim kematian. Hakim yang telah menjatuhkan vonis enam bulan, enam bulan bagi Kustini menghirup harumnya nafas  kehidupan.
            Vonis itu begitu berat. Vonis yang juga berarti batas enam bulan bagi Kustini memeluk Tika, putri semata wayang, buah cintanya bersama Tarmin.
Bocah kecil yang baru belajar merangkak itu terpaksa harus kehilangan ASI eksklusifnya karena kondisi Kustini yang kian melemah. Air mata Kustini mengalir deras.
            Adegan berikutnya muncul. Suara berat namun terdengar sejuk di telinga Kustini. Suara itu sangat dikenalnya. “Sabar Mak, setiap penyakit pasti ada obatnya.”
            Sosok Tarmin muncul dibalut baju kotak-kotak. Kustini tersenyum kecil memandang wajah suaminya. Suami yang dulu pernah ditolaknya mentah-mentah.
            Waktu itu satu bulan sebelum pernikahan, Kustini sempat kabur dari rumah. Alasan tidak ada cinta menjadi pembelaan kuat Kustini di depan Temah, ibu kandungnya. Bahkan dengan lantang Kustini berkoar, jijik melihat tampang lugu Tarmin. Kustini tidak sudi menikah dengan laki-laki pilihan ibunya.
 Karena tak kuat menanggung beban pikiran, Temah tumbang oleh penyakit jantung yang telah lama dideritanya. Janda tua itu seperti hampir mendekati ajal.
Pelarian Kustini selama seminggu di rumah Pak Lek harus berakhir. Melalui perdebatan yang alot, akhirnya Kustini menerima ijab dan qobul dari Tarmin.
 Pernikahan yang sederhana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai seratus ribu rupiah. Pernikahan yang haru biru tepat di hari di mana Temah menghembuskan nafas terakhirnya.
“Ya Alloh!” Tampak bibir Kustini mengucap kata, sementara air mata mengalir semakin deras. Seluruh tubuhnya bergetar mengguncang hebat. Adegan demi adegan  terus berlanjut.
Sosok wajah Tarmin kembali muncul. Tangis Kustini kian menderu. Laki-laki yang sekarang menjadi tumpuan hidupnya, sandaran keluh kesahnya, adalah laki-laki yang dulu sangat dibencinya. Perasaan jijik yang dulu diberikan Kustini dibalas dengan dekapan hangat penuh cinta oleh Tarmin.
Kustini seperti bercermin pada kaca kesalahan. Bahkan dia  berfikir apa yang didapatnya sekarang adalah karma yang harus diterimanya. Ganjaran atas perilakunya selama ini pada Tarmin, seorang suami yang dengan sabar menunggu enam puluh hari  mereguk manisnya madu malam pertama.
Pikiran Kustini semakin kacau. Dia berfikir barangkali enam puluh hari itu harus di bayarnya dengan vonis enam bulan dari dokter. Mungkin dengan begitu semua baru benar-benar lunas, pikirnya.
Astagfirullohhalazim.” Kustini semakin tenggelam dalam kilas balik  dosa. Kerudung putih panjang  yang melekat di kepala ditarik untuk menyeka air matanya yang tertumpah. Kerudung yang baru begitu akrab di kepala Kustini setelah vonis itu keluar.
Sosok wajah Tarmin tiba-tiba menghilang. Tubuh kurus Kustini seperti terlempar begitu saja ke lantai. Suasana menjadi redup, hening dan tak ada suara. Sayup-sayup hanya terdengar tangisan laki-laki dan anak kecil.
Sekarang semua benar-benar gelap. Hanya detak-detak jantungnya sendiri yang terdengar di telinga Kustini. Detak-detak itu semakin pelan dan melemah, sayup-sayup terdengar lagi suara laki-laki dan anak kecil yang menangis, memanggil-manggil satu nama “Mak............?”

ads

Ditulis Oleh : fendysastra Hari: 8:54 AM Kategori:

1 comments:

  1. Untuk mendokumentasikan tulisan atau berita mengenai anda, Kami dari SOLOPOS menyediakan pelayanan arsip PDF SOLOPOS edisi lama.
    Bila arsip dikopi di kantor redaksi SOLOPOS, siapkan flashdisk anda.Bila anda tidak mempunyai flashdisk, kami menyedikan cakram DVD berikut boxnya dengan biaya Rp 7.500. Untuk tariff arsip PDF, harga per edisi utuh Rp 4.000. Alamat redaksi kami ada di Jalan Adisucipto 190 Solo.
    Bila peminat ada di luar kota dan menghendaki arsip PDF, maka biaya dikenakan biaya Rp 10.000 untuk pemesanan 1 atau 2 edisi . Arsip PDF akan dikirim via email.

    Priyono
    Staf Penjualan Online

    ReplyDelete

 

Adsensecamp

ppcindo